- By sanjaiannapyk@gmail.com - In Budaya
Pacu Jawi dalam Potret Tahun 1906 di Payakumbuh
Pacu Jawi, atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pacu sapi, merupakan salah satu event budaya yang sangat khas dari Sumatera Barat. Tradisi ini seringkali diadakan setelah masa panen sebagai bentuk hiburan bagi para petani, dan terkadang diselenggarakan hingga tiga kali dalam setahun, tepat sebelum musim tanam dimulai.
Meski sekilas Pacu Jawi terdengar mirip dengan Karapan Sapi yang terkenal di Madura, ada perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya, terutama dalam hal lokasi dan cara perlombaan. Pacu Jawi berlangsung di tanah berlumpur bekas sawah yang telah dipanen, sementara Karapan Sapi dilakukan di tanah kering. Selain itu, dalam Pacu Jawi, tidak digunakan tongkat pendek berujung paku untuk mendorong sapi agar berlari lebih cepat, yang berarti sapi-sapi ini tidak disakiti selama perlombaan.
Sejarah Pacu Jawi di Payakumbuh
Pacu Jawi ternyata sudah dikenal jauh sebelum era 1950-an, seperti yang saya temukan dalam arsip koran Haluan pada masa itu. Pada era pemerintahan kolonial, kegiatan ini digalakkan untuk mendorong petani dalam pemeliharaan sapi, mengingat tingginya permintaan daging sapi. Namun, yang lebih mengejutkan adalah temuan saya mengenai adanya acara Pacu Jawi di Payakumbuh pada tahun 1906, tepatnya di dekat Surau Gonjong, Bukittinggi. Foto-foto klasik yang saya temukan dari Weebled voor Indie memperlihatkan betapa meriahnya acara ini, yang berlangsung setelah masa panen.
Keseruan Pacu Jawi: Tradisi yang Meriah
Pacu Jawi bukan sekadar perlombaan biasa. Kegiatan ini melibatkan petani yang memanfaatkan pasangan sapi (jawi) untuk berlomba di lintasan berlumpur. Para joki mengendarai sepasang sapi yang dituntun oleh pembajak sawah sambil menggigit ekor kedua sapi tersebut. Tujuan utamanya adalah agar sapi berlari secepat mungkin dan tetap berada di jalurnya tanpa berbelok, hingga mencapai garis finis.
Namun, tak jarang ada joki yang gagal mengendalikan sapinya, yang malah memilih untuk berhenti atau bahkan pergi meninggalkan lintasan. Keunikan inilah yang membuat Pacu Jawi begitu menarik. Selain itu, joki biasanya dilengkapi dengan alat bajak pacu yang terbuat dari bambu, yang berfungsi sebagai pijakan saat perlombaan dimulai. Alat ini adalah salah satu peralatan petani yang biasa digunakan untuk membajak sawah, menambah kesan tradisional pada keseluruhan acara.
Tradisi yang Terus Hidup
Pacu Jawi di Payakumbuh dan Bukittinggi merupakan simbol dari kekuatan budaya agraris yang begitu kental di Sumatera Barat. Meskipun acara ini telah berlangsung selama lebih dari seratus tahun, tradisi ini tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan warga lokal. Pacu Jawi tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga merupakan perwujudan dari semangat gotong royong, kebersamaan, dan kecintaan terhadap budaya serta alam pertanian.
Pacu Jawi, dengan segala keunikan dan kegembiraannya, akan terus menjadi bagian dari identitas budaya Minangkabau yang tak lekang oleh waktu. Bagi para petani, ini bukan hanya sekadar perlombaan, tetapi juga cara untuk merayakan hasil kerja keras mereka setelah musim panen, serta menunjukkan kekuatan tradisi yang telah ada sejak lama.