
- By sanjaiannapyk@gmail.com - In News
Potret Nagari Taram di Lima Puluh Kota Tahun 1910
Taram, yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Harau di Kabupaten Lima Puluh Kota, merupakan salah satu nagari yang cukup dikenal di Luhak 50 Koto. Nagari ini memiliki banyak peninggalan bersejarah, termasuk beberapa situs megalitik yang menunjukkan adanya pemukiman manusia purba. Di akhir tahun 1980-an, sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas, saya berkesempatan melakukan praktek kuliah arkeologi di Nagari Taram bersama teman-teman, yang dipandu oleh dosen arkeologi, Drs. Surya Helmi. Kami mengunjungi gua-gua megalitik yang terletak di dinding bukit Taram, di mana bibir gua bertemu dengan sawah hijau yang subur. Di dalam gua-gua tersebut, kami menemukan berbagai motif dakon dan kulit kerang, yang menjadi bukti hunian manusia purba. Nagari Taram juga pernah menarik perhatian para antropolog, salah satunya Harsja W. Bachtiar, yang menulis artikel berjudul Nagari Taram: A Minangkabau Village Community dalam buku Villages in Indonesia (Koentjaraningrat, ed., Cornell University Press, 1967). Selain itu, pada masa Perang Paderi, Nagari Taram sempat menjadi sasaran pemurnian agama oleh pengikut Tuanku Nan Renceh. Surau yang terlihat dalam foto yang dipublikasikan ini kemungkinan merupakan bagian dari ekspansi agama Kaum Paderi di Taram, meskipun belum dapat dipastikan apakah ini adalah surau yang dikenal masyarakat Taram dengan nama Surau Tuo Taram. Foto yang kami tampilkan kali ini diambil pada tahun 1910. Foto ini berukuran 9 x 13,7 cm dan merupakan kartu pos (prentbriefkaart) yang dicetak menggunakan teknik lichtdruk. Kartu pos ini diproduksi oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang, dengan tulisan Kampung Taram te Pajacombo (Kampung Taram di Payakumbuh), yang menunjukkan bahwa Nagari Taram telah menjadi salah satu objek promosi wisata pedesaan (rural tourism) pada masa kolonial Belanda. Melihat potret Nagari Taram ini, saya bisa memahami mengapa desa-desa di Belanda menjadi objek kunjungan wisata pada masa itu. Para wisatawan dapat melihat langsung bagaimana penduduk desa beternak, membuat keju, memproduksi sandal kayu, dan berbagai aktivitas khas pedesaan lainnya. Di Belanda, wisatawan dapat menginap di motel kecil dengan nuansa pedesaan, serta berkeliling desa menggunakan sepeda yang disewakan. Konsep wisata pedesaan seperti ini rupanya telah dikembangkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejak dulu. Sayangnya, di era kemerdekaan ini, konsep wisata seringkali lebih mengarah pada kunjungan ke kota-kota besar dan pusat perbelanjaan. Namun, seharusnya kita bisa kembali mempromosikan wisata desa, di mana wisatawan dapat melihat kegiatan tradisional seperti pembuatan lemang, bika, atau bahkan melihat proses pertanian seperti mengirik padi, memetik kelapa, dan sebagainya. Ini bisa menjadi cara yang menarik untuk melestarikan budaya dan tradisi lokal sambil memperkenalkan keindahan pedesaan Indonesia kepada dunia.Nagari Taram dalam Sejarah
Foto Nagari Taram Tahun 1910
Wisata Pedesaan pada Masa Kolonial