- By sanjaiannapyk@gmail.com - In Payakumbuh, Sejarah
Buya Hamka: Ulama, Sastrawan, dan Pemikir yang Mewariskan Karya Abadi
Buya Hamka, atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah, adalah salah satu tokoh besar Indonesia yang dikenal luas sebagai ulama, sastrawan, dan aktivis. Ia lahir di Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Nama "Hamka" sendiri berasal dari akronim nama lengkapnya, yang pertama kali ia gunakan sebagai nama pena ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi di majalah Pedoman Masyarakat.
Kehidupan Awal dan Pendidikan
Hamka adalah anak pertama dari Abdul Karim Amrullah, seorang ulama terkemuka, dan Safiyah. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kental dengan ajaran Islam. Di usia muda, ia mulai menuntut ilmu dengan tekun, belajar Al-Qur’an dan bacaan salat di bawah bimbingan kakak tirinya. Pada usia 16 tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta, di mana ia mendalami gerakan Islam modern bersama tokoh-tokoh besar seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Karir di Dunia Jurnalistik
Setelah menunaikan ibadah haji, Hamka memutuskan untuk tinggal di Medan daripada kembali ke Padang Panjang. Di Medan, Hamka memasuki dunia jurnalistik dengan menulis untuk berbagai media seperti Pelita Andalas dan Seruan Islam. Karya pertama yang ia terbitkan adalah roman Si Sabariah, yang kemudian membantu biaya pernikahannya. Karya lainnya, Laila Majnun, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1932, yang semakin mendorongnya untuk menulis lebih banyak karya.
Kepemimpinan di Pedoman Masyarakat
Pada tahun 1936, Hamka diundang untuk memimpin majalah Pedoman Masyarakat. Di bawah kepemimpinannya, oplah majalah ini meningkat pesat dari 500 eksemplar menjadi 4.000 eksemplar. Melalui majalah ini, Hamka mulai dikenal dengan nama pena "Hamka" dan menulis beberapa karya besar seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938). Karya ini diikuti oleh Tenggelamnya Kapal van der Wijck, yang menjadi salah satu novel romantis terbesar dalam sastra Indonesia.
Aktivisme di Muhammadiyah dan MUI
Selain dikenal sebagai sastrawan, Hamka juga seorang aktivis Muhammadiyah yang sangat berpengaruh. Ia aktif dalam berbagai kongres Muhammadiyah dan dipercaya untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar pada 1931. Hamka juga terlibat dalam politik melalui Partai Masyumi, dan setelah berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, Hamka terpilih sebagai Ketua MUI pertama, yang semakin mempertegas peran pentingnya dalam dunia keagamaan dan politik Islam di Indonesia.
Pengakuan dan Gelar Kehormatan
Karya dan pemikiran Hamka yang mendalam mendapatkan pengakuan internasional. Ia dianugerahi gelar doktor kehormatan dari Universitas al-Azhar, Mesir, dan Universitas Nasional Malaysia. Universitas Moestopo juga memberikan gelar guru besar kepadanya. Selain itu, nama Hamka diabadikan dalam nama Universitas Hamka yang dimiliki oleh Muhammadiyah, sebagai penghormatan atas kontribusinya.
Karya-karya Besar Buya Hamka
Hamka telah menghasilkan banyak karya yang terkenal dan abadi hingga kini. Beberapa di antaranya adalah:
- Di Bawah Lindungan Ka’bah
- Tenggelamnya Kapal van der Wijck
- Merantau ke Deli
- Tuan Direktur
- Terusir
- Di Tepi Sungai Dajlah
- Dari Perbendaharaan Lama
- Sejarah Umat Islam
- Tafsir Al Azhar
- Tasawuf Modern
Warisan dan Pengaruh
Buya Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, pada hari Jumat dalam bulan Ramadhan. Meskipun telah berpulang, warisan pemikiran dan karyanya terus menginspirasi banyak orang, baik dalam bidang agama, sastra, maupun kehidupan sosial-politik. Ia dikenang sebagai seorang tokoh yang tak hanya cerdas, tetapi juga memiliki dedikasi tinggi untuk umat Islam dan bangsa Indonesia.
Kesimpulan
Buya Hamka adalah figur yang tidak hanya berperan sebagai seorang ulama dan sastrawan, tetapi juga sebagai aktivis yang berjuang demi kemajuan Islam dan bangsa. Karya-karya besar dan dedikasinya akan selalu dikenang sebagai bagian penting dari sejarah Indonesia.